Destructive Fishing: Ancaman Nyata bagi Keamanan Maritim dan Keberlanjutan Perikanan Indonesia
![]() |
Ilustrasi (Sumber: Kumparan.com) |
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki peran strategis dalam mengelola sumber daya perikanan dan menjaga keamanan maritim di wilayahnya. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan luas perairan sekitar 6,4 juta kilometer persegi, perikanan merupakan sektor yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Namun, di balik potensi besar ini, ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan kerap muncul, salah satunya melalui praktik destructive fishing atau penangkapan ikan yang merusak. Artikel ini akan membahas bagaimana destructive fishing menjadi ancaman nyata terhadap keamanan maritim dan kelestarian sumber daya perikanan di Indonesia, serta dampak yang ditimbulkannya terhadap ekosistem laut dan masyarakat pesisir.
Konteks dan Definisi Destructive Fishing
Destructive fishing didefinisikan sebagai praktik penangkapan ikan yang tidak hanya mengeksploitasi ikan secara berlebihan, tetapi juga merusak habitat dan ekosistemnya. Beberapa contoh metode yang termasuk dalam kategori ini antara lain penggunaan bom ikan, racun (biasanya sianida), dan trawl yang merusak terumbu karang dan dasar laut.
Di Indonesia, penggunaan bom ikan dan sianida dalam penangkapan ikan terbilang marak, terutama di daerah-daerah pesisir yang akses kontrolnya lemah dan pengawasannya minim. Para pelaku kegiatan ini sering kali memanfaatkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di kawasan pesisir terpencil. Bom ikan, misalnya, tidak hanya membunuh ikan dalam jumlah besar secara instan, tetapi juga menghancurkan struktur terumbu karang yang merupakan tempat perlindungan dan berkembang biaknya berbagai spesies laut. Praktik ini memberikan dampak yang tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga jangka panjang terhadap ekosistem laut.
Dampak Ekologis Destructive Fishing terhadap Sumber Daya Perikanan
Indonesia dikenal sebagai rumah bagi salah satu biodiversitas laut terkaya di dunia. Terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun merupakan ekosistem kritis yang menopang produktivitas perikanan nasional. Namun, praktik destructive fishing mengancam keberlanjutan ekosistem-ekosistem ini. Penggunaan bom ikan dan racun sianida, misalnya, menghancurkan terumbu karang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
Data dari Coral Triangle Initiative (CTI) menunjukkan bahwa lebih dari 40% terumbu karang di perairan Indonesia berada dalam kondisi kritis. Ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan manusia, termasuk penangkapan ikan yang merusak. Terumbu karang yang rusak membutuhkan waktu yang sangat lama untuk pulih—bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun—sementara permintaan akan ikan karang seperti kerapu dan kakap terus meningkat.
Selain terumbu karang, hutan mangrove juga turut terdampak. Mangrove berfungsi sebagai tempat pembibitan ikan dan invertebrata serta pelindung alami dari erosi pantai. Praktik perusakan ekosistem mangrove, baik melalui penggundulan untuk perluasan tambak maupun penangkapan ikan dengan metode destruktif di sekitarnya, turut mengurangi populasi spesies laut yang bergantung pada ekosistem ini.
Akibatnya, populasi ikan menurun drastis, dan ini memengaruhi mata pencaharian nelayan tradisional yang mengandalkan sumber daya perikanan di sekitar terumbu karang dan mangrove. Ketika stok ikan habis, nelayan akan dipaksa untuk mencari ikan lebih jauh ke laut lepas, yang menambah beban dan risiko pada keberlanjutan perikanan nasional.
Destructive Fishing sebagai Ancaman Keamanan Maritim
Keamanan maritim mencakup tidak hanya pertahanan terhadap ancaman militer, tetapi juga pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, penegakan hukum, serta perlindungan lingkungan laut. Dalam konteks Indonesia, destructive fishing menjadi salah satu ancaman terbesar bagi keamanan maritim karena dampaknya tidak hanya terbatas pada kerusakan ekosistem, tetapi juga memicu ketidakstabilan sosial dan ekonomi di wilayah pesisir.
Pertama, aktivitas penangkapan ikan dengan cara merusak sering kali melibatkan sindikat kriminal yang beroperasi lintas wilayah dan sulit dijangkau oleh aparat hukum. Kelompok-kelompok ini tidak jarang terlibat dalam aktivitas ilegal lainnya seperti perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, hingga perompakan laut. Hal ini semakin memperumit upaya pemerintah dalam menjaga keamanan maritim, terutama di wilayah perbatasan yang sering kali menjadi sasaran empuk bagi kegiatan ilegal.
Kedua, destructive fishing juga menyebabkan konflik antar nelayan. Dalam beberapa kasus, nelayan yang menggunakan metode tradisional merasa dirugikan oleh kelompok nelayan yang menggunakan metode destruktif karena hasil tangkapannya menurun drastis. Konflik ini bisa memicu ketegangan sosial yang berkepanjangan di wilayah pesisir, menghambat pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.
Ketiga, penurunan stok ikan akibat destructive fishing memperburuk ketahanan pangan nasional. Indonesia adalah salah satu negara pengonsumsi ikan terbesar di dunia, dan sektor perikanan menyumbang sebagian besar kebutuhan protein masyarakat. Ketika sumber daya perikanan menurun akibat praktik penangkapan yang tidak bertanggung jawab, hal ini tidak hanya mengancam perekonomian nelayan, tetapi juga kesehatan dan ketahanan pangan seluruh rakyat Indonesia.
Tantangan Penegakan Hukum dan Pengawasan
Meski pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk memerangi destructive fishing, tantangan dalam penegakan hukum masih sangat besar. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan, seperti moratorium izin kapal penangkap ikan asing dan kebijakan penenggelaman kapal illegal fishing yang dipimpin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Namun, implementasi di lapangan sering kali menemui hambatan. Pertama, wilayah perairan Indonesia yang sangat luas menyulitkan pengawasan secara menyeluruh. Banyak wilayah yang tidak terjangkau oleh aparat keamanan dan cenderung menjadi zona bebas bagi aktivitas ilegal. Kedua, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia di berbagai instansi terkait juga menjadi kendala dalam menjalankan pengawasan yang efektif.
Selain itu, korupsi dan kolusi di tingkat lokal sering kali menghambat penegakan hukum. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pelaku destructive fishing dapat "membeli" kebebasannya dengan suap, sehingga mereka terus beroperasi tanpa khawatir ditindak. Hal ini menciptakan siklus yang memperburuk situasi, di mana kerusakan lingkungan semakin meluas dan sumber daya perikanan semakin menipis.
Upaya Solusi dan Penguatan Keamanan Maritim
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif, mencakup upaya preventif dan represif. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Pemerintah perlu memperkuat koordinasi antara berbagai lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan maritim, seperti TNI Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penggunaan teknologi pengawasan, seperti drone dan satelit, juga perlu ditingkatkan untuk memantau aktivitas di perairan yang sulit dijangkau.
Edukasi dan Penyuluhan bagi Masyarakat Pesisir: Penyuluhan kepada nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian ekosistem laut perlu diperluas. Dengan memahami bahwa kelangsungan hidup mereka juga bergantung pada kesehatan laut, nelayan dapat didorong untuk beralih ke metode penangkapan yang lebih ramah lingkungan.
Pemberdayaan Ekonomi Alternatif: Nelayan yang selama ini bergantung pada praktik destructive fishing harus diberikan pilihan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Program-program yang memberikan pelatihan keterampilan atau akses ke modal untuk usaha perikanan budidaya, ekowisata, atau industri lainnya perlu diperluas.
Kerjasama Regional dan Internasional: Mengingat banyaknya aktivitas destructive fishing yang melibatkan sindikat internasional, kerjasama dengan negara-negara tetangga dan organisasi internasional harus diperkuat. Pertukaran informasi intelijen, patroli gabungan, dan kerjasama penegakan hukum dapat membantu menekan kegiatan ilegal di perairan Indonesia.
Kesimpulan
Destructive fishing merupakan ancaman serius terhadap keamanan maritim dan kelestarian sumber daya perikanan di Indonesia. Praktik-praktik seperti penggunaan bom ikan dan racun sianida tidak hanya menghancurkan ekosistem laut yang vital, tetapi juga merusak keseimbangan ekonomi dan sosial di wilayah pesisir. Untuk menghadapi ancaman ini, dibutuhkan upaya terpadu yang melibatkan pengawasan yang lebih ketat, edukasi masyarakat, serta penguatan kerjasama di tingkat regional dan internasional.
Hanya dengan pendekatan yang holistik, keberlanjutan sumber daya perikanan dapat dijamin, dan Indonesia dapat terus memanfaatkan kekayaan lautnya untuk kesejahteraan rakyatnya tanpa mengorbankan lingkungan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.(*)
Referensi
Ariputro, A. B., Syahtaria, M. I., Trismadi, T., Suwarno, P., Widodo,
P., & Purwanto, D. A. (2024). Literature Review Strategi Kebijakan
Kemaritiman dalam Upaya Meminimalisir Perilaku Destructive Fishing di
Perairan Indonesia. Indonesian Journal of Public Administration Review, 1(4), 9-9.
Dao, Y., Yusnaldi, Y., & Kusuma, K. (2024). Mitigating Destructive Fishing through the Optimization of Community-Based Coastal Surveillance as an Effort to Safeguard Maritime Security. Formosa Journal of Applied Sciences, 3(7), 2783-2796.
Dao, Y., Yusnaldi, Y., & Kusuma, K. (2024). Maritime Intelligence in
Countering Destructive Fishing as a Threat to Maritime Security in
Coastal Areas and Small Islands. JESS (Journal of Education on Social Science), 8(02), 142-155.
Carneiro, M., & Martins, R. (2022). Destructive fishing practices and their impact on the marine ecosystem. In Life Below Water (pp. 295-304). Cham: Springer International Publishing.
McCarthy, A. H., Steadman, D., Richardson, H., Murphy, J., Benbow, S.,
Brian, J. I., ... & Mukherjee, N. (2024). Destructive fishing: An
expert‐driven definition and exploration of this quasi‐concept. Conservation Letters, e13015.
Zaelany, A. A. (2019). Fish-Bombing Fishermen From Barang Lompo Island, South Sulawesi Province: Understanding Their Corruption, Behaviors and Arranging Policy For Destructive Fishing Reduction. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 9(1), 71-79.
0 Komentar