Nis! Catatan Juang di Jalan Sunyi
Bergembiran di jalan sunyi. Diantara temaram cahaya bulan, aku susuri jalan ini, dengan hiruk pikuk kendaraan yang perlahan senyap menjelang tengah malam. Di kota kecil ini aku mencoba mematri asa-ku. Berusaha berguyub dengan keadaan yang tak berpihak, menggembirakan diri dengan jerit yang tertahan. Bagaimana tidak, aku sedang patah. dipatahkan oleh harapan dengan khayalan, sementara nyata berbalik adanya.
Aku mengingatmu, Nis. Mengingatmu disini, diantara bayang-bayang sunyi. Gelora kita beberapa tahun silam tak berdaya menghadapi fakta, bahwa negeri ini, bahkan untuk kota sekecil ini, keberpihakan pada 'kaum kecil' itu adalah omong kosong dan jualan kampanye semata. Menjelang tahun politik, ada banyak kalimat-kalimat menghiasi setiap baliho dan spanduk di jalanan, menyesak aspal diantara sumpah serapah rakyat yang mengangkat marah. Apakah amarah ini akan lama? Saya pesimis. Mereka akan kembali diimingi berbagai hal dan amplop berisi tunai menjelang pesta demokrasi. Mereka, rakyat kecil ini mau tergoda, dan ini adalah kesempatan bagi pembual politik untuk membeli hak-hak kaum ini.
Kau masih ingat, Nis. Bagaimana kita menghiasi masa mahasiswa kita dengan diskusi, turun aksi dan membangun kritis atas kebijakan-kebijakan yang hanya sensasi. Meninggalkan bangku kuliah yang empuk dan menumpuk di bawah panas terik bermodalkan spanduk tuntutan dan toa. Berhadapan dengan tameng-tameng aparat yang kadang mulia, juga kadang beringas. Bergantung kepentingan perintahnya! Tapi kita bergeming. Kita tetap meneruskan juang atas idealisme yang kita anut. Idealisme yang kini tergerus oleh penerus yang bingung.
Dengan berkeringat kita terus berteriak, entah sudah berkali-kali kita melakukannya. Berkali-kali kita turun ke jalanan. Berkali-kali kita hendak dibungkam, berkali-kali pulau kita tetap bersuara, sekalipun sesak. Aku harus jujur, berkali-kali pula aku jatuh hati padamu. Pada nyalimu, pada tampangmu yang kusut karena lelah. Semangat yang terus kau gelorakan terkadang memecut diriku yang hampir menyerah. Hingga rektor memindahkan tali simbol kelulusan diatas topi wisuda kita, dan semuanya menjadi kenangan. Tapi darah juang itu tetap hidup, tetap mengaliri nadi tanpa pamrih. Menjadi dedikasi dimana-mana kita berada kini.
Di jalan ini sembari ngopi aku dihardik oleh kenangan itu, dalam kesepianku rasanya mendidihkan darahku. Kau dengan kesibukanmu kini, dan aku disini berkutat dengan hidupku. Berada di tengah kebobrokan yang dulunya kulawan, berada di tengah kebijakan yang bertentangan idealisme-ku, aku terus tergerus, tanpa perlawanan. Aku didepak ketika aku berontak, dan sekejap hilang nyaliku.
Nis, kau tau hidupku kali ini? Menghidupi dan terhidupi, menggerutu dan digerutui, berkeringat dalam juang yang berbeda jauh dengan yang dulu kita hadapi. Benar kata ayahku, hidup ini keras, juga benar katamu, hidup ini beringas. Sejengkal perut yang harus kuusahakan isiannya, itulah juangku. Karena tanggung jawabku kini bertumpuk. Tapi itu semua tak menghilangkan prinsipku. Tak menghilangkan pikiranku atas apa yang terjadi di sekitarku. Sekalipun tak segarang dulu, tapi aku masih dan tetap berkutik. Pelan-pelan merajut asaku, membangun juangku.
Mungkin kau juga menghadapi hal yang sama. Aku tak tahu banyak. Kau dipelosok sana. Jarang juga kudengar kabarmu. Saya hanya berharap kau baik saja, seperti aku yang berusaha baik. Kita punta Tuhan yang tiada tara. Sebagaimana kita dan yang lainnya terdoktrin. Setiap aku berdoa dan bersujud, aku merasa bebanku ringan, dadaku lega. Aku tahu, hingga saat ini aku masih tetap berdiri, semua karena-Nya.
Jalan masih panjang. Bahkan sangat panjang. Terjal dan mendaki, juga menurun. Semua ada hikmatnya. Tapi kenangan akan tetap hidup, semangat takkan pernah patah, suara takkan pernah habis, kini aku punya cara juangku sendiri. Aku menempatkan diriku pada sebuah kekuatan ditengah dilema, menjelma dan bergerak dalam bayang-bayang, menghantui para perusak dan pembual, dan dibalik itu, lewat pekerjaanku, aku merunut beberapa tokoh pejuang yang semangatnya kubaca di buku-buku yang kupunyai, membangun akar rumput sedayaku. Karena kita tak hanya cukup berteriak, kita juga harus turun membangun sebisannya.
Nis, aku mencatat ini dalam kesunyianku. Dalam rinduku. Dalam doaku dan hatiku. Semua akan berlangsung pada waktunya. Kelak akan kuceritakan pada anakku. (*)
0 Komentar