Kebijakan Cara Pembenihan Ikan Yang Baik (CPIB), Seberapa Pentingkah?


Cara Pembenihan Ikan Yang Baik (CPIB)
Area Budidaya Ikan Sistem Bioflok (mhg)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 35/PERMEN-KP/2016 tentang Cara Pembenihan Ikan Yang Baik, menjelaskan bahwa Cara Pembenihan Ikan yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPIB adalah pedoman dan tata cara mengembangbiakkan Ikan dengan cara melakukan manajemen induk, pemijahan, penetasan telur, dan pemeliharaan larva/benih dalam lingkungan yang terkontrol, melalui penerapan teknologi yang memenuhi kriteria dan persyaratan teknis, manajemen, keamanan pangan, dan lingkungan.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementeria Kelautan dan Perikanan RI telah membangun sebuah model dalam upaya meningkatkan daya saing industri benih ikan secara nasional, yakni dengan penerapan Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB). Penerapan CPIB ini merupakan syarat mutlak dalam menghasilkan benih unggul dan juga mengelola induk unggul. Dengan menerapkan CPIB maka benih yang dihasilkan merupakan benih berkualitas yang akan dapat digunakan oleh para pembudidaya yang juga harus menerapkan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB).

Kebijakan CPIB dan CBIB ini merupakan integrasi hulu dan hilir dalam sistem perikanan budidaya nasional yang dikembangkan DJPB. Input yang bagus, proses yang sesuai aturan akan menghasilkan output yang optimal dengan kualitas yang baik. Sertifikasi CPIB dan tentu CBIB ini terus digalakkan untuk meningkatkan daya saing perikanan budidaya menyambut persaingan global yang kian ketat. Produksi induk dan benih unggul dengan sertifikasi ini tentu juga dimaksudkan untuk mendukung semakin bergairahnya usaha budidaya ikan nasional.

Adapun syarat sertifikasi CPIB, antara lain surat keterangan dari desa, lokasi bebas banjir dan cemaran, air tersedia sepanjang tahun dan tidak tercemar (dibuktikan dengan hasil analisis laboratorium), fasilitas unit lengkap (ada gudang, tempat pengemasan), menerapkan biosecurity, pakan bersertifikat, atau melampirkan bahan/formula dan menyerahkan sampel apabila menggunakan pakan buatan sendiri, induk memiliki Surat Keterangan Asal (SKA), mempunyai Standard Operasional Prosedur (SOP) dari pengolahan kolam, pengadaan induk, pemeriksaan kesehatan ikan, emeriksaan kualitas air, sampai dengan panen dan pengemasan, mempunyai data rekaman selama proses produksi, dan didampingi satu orang bersertifikat Manager Pengendali Mutu (MPM) Perbenihan. Manager Pengendali Mutu Perbenihan, yang selanjutnya disingkat MPM adalah penanggung jawab mutu pada Unit Pembenihan Ikan.

Kendala Kebijakan CPIB Bagi Pembudidaya

1. Minimnya Sosialisasi dan Fasilitasi

Sejak kebijakan CPIB ditetapkan memang secara ‘ceremonial’, sosialisasi kepada masyarakat pembudidaya ikan terus dilakukan. Hanya saja, hanya sebatas sosialisasi semata dan kemudian minim fasilitasi untuk pengurusan selanjutnya. Hal ini membuat pembudidayaan ikan menjadi kurang antusias. Sosialisasi yang dilakukan terkesan hanya sekedar memenuhi target kegiatan saja. Sementara pembudidaya ikan membutuhkan fasilitasi dan pendampingan sampai pembudidaya ikan mendapatkan CPIB sangat minim.

2. Sarana dan Prasarana Pembudidaya Ikan Terbatas

Sarana dan prasarana pembudidayaan ikan yang dimiliki oleh pembudidaya masih terbatas. Meskipun secara kualitas dan kuantitas, pembudidaya ikan lokal telah mampu menghasilkan benih ikan yang baik dan bermutu dalam skala sedang bahkan sudah mampu berproduksi pemasaran sampai keluar daerah, tetapi secara sertifikasi CPIB mengalami kendala karena sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Maka sangat diharapkan dukungan fasilitasi Sarpras dari Pemerintah dan stakeholder terkait, untuk membantu pembudidaya ikan lokal mampu memenuhi dokumen mutu persyaratan sertifikat CPIB sehingga dapat bersaing dalam produksi.

3. Akses Layanan Terbatas

Bicara tentang kebutuhan personil produksi usaha yang harus bersertifikasi Manager Pengendali Mutu (MPM) Perbenihan, banyak pembudidaya ikan yang mengeluhkan hal ini. Karena tidak semua wilayah pembudidaya memiliki akses terdekat untuk mengikuti pelatihan ini. Beberapa lokasi Balai perikanan dibawah KKP yang melayani prosedur ini sangat jauh lokasinya. Selain itu, Auditor Sistem Mutu Perbenihan yang merupakan personil yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan audit CPIB masih kurang.

Bagaimana tidak, bayangkan sekiranya pembudidaya ada di wilayah Kepulauan Nias sementara untuk mengikuti Diklat MPM harus ke Jawa atau daerah Sumatera lainnya yang jauh. Hal ini tentunya membebani pembudidaya dengan pembiayaan yang tinggi. Maka sangat diharapkan kepada DJPB Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk bisa memperhatikan kebutuhan ini, dengan memberikan layanan yang mudah akses dan mudah diikuti sehingga pembudidaya ikan dapat mengikuri Diklat MPM Perbenihan ini dalam rangka mendapatkan sertifikasi CPIB untuk kegiatannya.

Selain itu, baiknya Auditor Sistem Mutu Perbenihan harus tersedia di setiap instansi kelautan dan perikanan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini akan mempermudah pembudidaya ikan untuk melakukan pengurusan dan mempermudah melakukan audit mutu atas usaha pembudidaya ikan di masing-masing wilayah sebagai salah satu penilaian untuk mendapatkan sertifikasi CPIB. 

Di tengah ketatnya persaingan bisnis akuakultur di tingkat global dan regional, apalagi sejak memasuki ajang pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN) tahun 2015, maka Indonesia harus mampu swasembada benih dan induk nasional. Hal ini penting selain untuk membendung penetrasi produk impor, juga untuk menghindari masuknya penyakit dari negara lain. Swasembada benih dan induk ini akan mudah dicapai, salah satunya dengan menerapkan CPIB. Jika CPIB diterapkan secara masif, maka pada akhirnya, kebutuhan induk dan benih berkualitas bakal tercukupi di seluruh Indonesia. (*)

0 Komentar

Type above and press Enter to search.